missfioree
Powered by Blogger.
  • Home
  • Mengenal Penulis
  • Review
  • Tips
  • Dialog

Jadi, ceritanya sekitar akhir 2016 lalu, Nina woro-woro di grup Joglo buat Januarian. Nah, berhubung tahun 2016 nggak ada event Secret Santa BBI, akhirnya saya menyelunduplah dalam agenda tukar kado Januarian ini, disebutnya sih January Party tapi nggak ada nama khusus pas nanya.

Nah, sama giver yang baik hati, saya dikasih buku ke-3 Laini Taylor, Dreams of Gods and Monsters. Makasih, giver. Senangnya berhasil melengkapi seri ini. XD

Sekalian sama buku ini, saya dikasih mug juga. Sayang, gagang mugnya patah, hiks.

Nah, buat riddle-nya sendiri nggak sulit. Serius nggak sulit. Saya cuma harus menggali-gali saja buat tahu. Ini riddle-nya saya salin.
Dear Wardah...Salam dari Aku....Si penyuka genre Fantasy dan Romance, ngefans sama Divergent series tetapi kecewa berat sama film terakhirnya, Insurgent.
Nah, gampang kan?

Setelah mengecek satu demi satu blog para peserta January Party, saya tahu bahwa sang giver adalah... JENGJENGJENG--Mbak Yanti! Yey! Buktinya saya temukan di sini. Terima kasih hadiahnya, Mbak. :*

Yang lucu dari proses nebak ini adalah, kemarin itu saya nebak Mbak Yanti giver dari Mbak Truly habis lihat clue-nya Mba Truly. Pakai japri buat nanya bener apa nggak pula. Hari ini, pas habis cari-cari tahu, lalu tahu siapa sosok giver sebenarnya, saya jadi pengin ketawa mulu kalau ingat. Demi apa, masa nodong giver sendiri sebagai giver orang lain. LOL.

Yah, sudahlah, yang penting sekarang aku sudah tahu siapa dirimu. Benar, kan, Mbak? XD
Judul: Love Trip
Penulis: Putu Kurniawati
Penyunting: M. Adityo Haryadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 272 halaman

Pada kunjungan penelitian ke Universitas Kyoto, Cakra bertemu Luna, seorang mahasiswa dari Indonesia sepertinya. Pertemuan itu membuat keduanya dekat dan menjalin hubungan meski terpisah jarak ketika Cakra harus kembali ke Denver.

Tak lama kemudian, Luna menyelesaikan kuliahnya di Jepang dan memilih pulang ke Indonesia, ke Bali. Cakra pun menyusul tak lama. Sayang, tidak seperti Luna, lelaki itu memilih menetap dan bekerja di Denver karena alasan masa lalu yang tidak dia ceritakan pada Luna.

Sayangnya, kehidupan percintaan mereka segera diambang kehancuran ketika Luna tidak lagi bisa dihubungi Cakra. Gadis itu meninggalkan keterangan find me dan membuat Cakra harus menjelajahi berbagai tempat untuk mencari keberadaannya. Akankah keduanya dipertemukan lagi? Apakah hubungan mereka memang tidak akan bersatu?

Premis yang Menarik

Love Trip punya premis yang menarik, tentang seseorang yang menjelajahi kota-kota untuk mengejar cintanya. Blurb-nya pun membuat premis Love Trip terasa semakin menarik. Lengkap dengan kover yang cantik, saya berhasil dibuat penasaran sama novel satu ini.

Sayangnya, rasa penasaran saya langsung pupus ketika memasuki bagian Dua (ya, novel ini dibelah-belah menjadi beberapa bagian). Hubungan Cakra dan Luna ini terlalu cepat. Saya tidak merasakan peningkatan hubungan mereka. Saya tidak mendapati ketertarikan Cakra perlahan berubah menjadi cinta di paruh awal. Tahu-tahu saja, keduanya sudah jadi sepasang kekasih. Belum lagi ada banyak kebetulan di antara mereka.

Tokoh-Tokoh yang Sulit Dipahami

Selain hubungan mereka yang tiba-tiba, karakterisasi mereka juga kurang lengkap, apalagi Luna. Love Trip ini terpusat pada Cakra. Penulis tidak memberikan ruang bagaimana sebenarnya Luna ini. Bahkan latar pendidikan keduanya yang di luar negeri pun terasa tempelan. Cakra dibilang sibuk dengan kuliahnya, tapi saya tidak mendapati “kesibukan” itu dalam Love Trip. Pun begitu bagi Luna dan karakter-karakter sampingan lain di Love Trip.

Semakin ke belakang, saya dibuat semakin bingung. Pasalnya, karakter-karakter kita ini tidak ditunjukkan kesehariannya. Pekerjaan mereka apa, bagaimana, kesulitan dalam pekerjaannya gimana, kondisi rumah mereka, keadaan keluarga mereka, dll. Semuanya hanya sekilas dan selewat lalu. Saya bahkan semakin bingung karena karakter-karakter dalam Love Trip ini lalu melakukan perjalanan ke berbagai tempat, dalam dan luar negeri. Wow. Sebenarnya Cakra ini kerjanya apa sejak berhenti di Denver? Lebih bingung lagi sama Junot, sahabat Cakra, yang tidak digambarkan bagaimana keluarganya dan pekerjaannya, tapi ikut ke mana-mana Cakra mencari Luna.

Bukan hanya kenyataan soal mereka berjalan-jalan. Ketika Luna lulus pun, Steve, sahabat Luna, bertanya kenapa Cakra tidak datang ke Jepang. Saya cuma mikir, apa karakter-karakter dalam Love Trip ini jetset semua? Emang Denver ke Kyoto itu satu-dua jam sampai? Emang biaya pesawat semurah apa sih sampai mereka semua bisa berada di mana pun yang mereka mau? :|

Bukan hanya pas itu. Pas Luna ke Denver, lalu pas Luna lagi upacara potong gigi, dan seterusnya dan seterusnya. Saya nggak bakal heran jika mereka kalangan jetset (seperti di novel-novel Christian Simamora itu), tapi karakter Love Trip ini nggak seperti kalangan jetset. Cakra tinggal bareng Junot. Kehidupan mereka pun tidak terlihat mewah-mewah (kecuali fakta soal mereka bisa terbang ke mana pun tanpa memikirkan biaya).

Belum lagi karakter sampingan seperti Lala dan Sasha yang kebetulan muncul. Juga Dara dan Elang. Dan yah, banyak kebetulan lain. Karakter-karakter Love Trip sendiri tidak dewasa, apalagi Steve. Saya bingung banget sama karakter Steve ini, yang aneh banget. Sebenarnya Steve ini mau dibawa ke mana sama penulis? :/

Hal ini membuat Love Trip tidak meyakinkan. Hal ini juga yang membuat saya selalu mengerutkan kening ketika membaca. Sayang sekali padahal Love Trip punya premis yang menarik.

Terakhir

Saya lebih banyak kecewa daripada puas sama Love Trip. Premisnya sudah menarik. Gaya menulisnya pun lumayan. Sayangnya, segalanya terlalu cepat dan terlalu mudah, sehingga tidak realistis. Label young adult-nya pun tidak terasa pas di novel ini karena saya tidak menemukan cerita yang kompleks. Love Trip ini punya karakter yang mirip di sinetron-sinetron sehingga eksekusi premisnya membuat saya kecewa. :(

Novel ini padahal punya poin menarik, soal nyentana dan sentana. Ini budaya Bali yang menyatakan laki-laki ikut keluarga perempuan ketika menikah. Soal ini pun mempengaruhi cukup banyak bagian novel ini. Sayang, budaya Bali ini sekilas lalu doang dan tidak ditunjang dengan budaya-budaya Bali lainnya. Jadi rasanya ketika kata ini muncul, mendadak sekali.

Saya tidak merekomendasikan novel ini bagi kamu pecinta young adult (apalagi pembaca YA luar negeri), saya cukup yakin kamu bakal sama kecewanya dengan saya. Akan tetapi, jika kamu penikmat teenlit atau novel yang penuh romance dengan latar berbagai negeri, mungkin kamu bakal suka.

Selamat membaca!

Setelah sukses dengan IRRC 2016 (yah meski telat menyetorkan wrap-up hiks), saya ikutan lagi IRRC 2017. Yey! XD

Level yang akan saya ambil Engaged, yaitu membaca 41-50 buku. Saya cukup yakin bisa berhasil sih, IRRC 2016 saya baca 37 buku. Nambah 4 lagi buat sampai angka 41 kan? Syukur-syukur bisa naik level jadi Married, ya. Asyik-asyik!

Seperti sebelumnya, master post ini bakal saya jadikan tempat untuk wrap-up buku-buku yang sudah saya baca juga. Semoga kesampaian dengan rajin. XD

Nah, kalau kamu mau ikutan juga, bisa baca di blog Mbak Kiky nih.
  1. Rule of Thirds - Suarcani

  2. Genduk - Sundari Mardjuki

  3. The Playlist - Erlin Natawiria

  4. Love Trip - Putu Kurniawati

  5. Rahasia Batik Berdarah - Leikha Ha

  6. French Pink - Prisca Primasari

  7. Storm Cloud Marriage - Elsa Puspita

  8. Love in City of Angels - Irene Dyah

  9. Sky - Aiu Ahra

  10. Then She Smiles - Makna Siantria

  11. Imaji Terindah - Sitta Karina

  12. Starry Night - Larasaty Laras

  13. Trisula Mentari - Shandy Tan

  14. Frenemy - Ayuwidya

  15. Seaside - Zee

  16. The Passionate Marriage - Indah Hanaco

  17. Hujan Daun-Daun

  18. Seribu Tahun Mencintaimu

  19. Love Fate - Sari Agustia

  20. Close to You - Clara Canceriana

  21. Flat Shoes Oppa - Citra Novy

  22. Momiji - Orizuka

  23. Miss Indecisive Lawyer - Adeliany Azfar

Judul: The Playlist
Penulis: Erlin Natawiria
Penyunting: Septi Ws
Penerbit: Grasindo
Tebal: 244 halaman

Winona adalah penulis konten review restoran di YummyFood. Namun, tidak seperti penulis yang lain, Winona memasukan review soal musik latar restoran. Bagi Winona, musik sangat mempengaruhi penilaiannya atas sebuah tempat makan.

Sampai Winona berkunjung ke No. 46, sebuah restoran berkonsep homey yang sayangnya terasa mencekam. Winona tidak mendapati musik apa pun diputar di sana. Bahkan, Winona dibuat penasaran dengan Aries, sang pemilik, yang misterius. Ditambah lagi dengan kehadiran mantan pacarnya, Ethan, hidup Winona yang tenang sepertinya akan berakhir.
“Mungkin kita dipertemukan untuk belajar memperbaiki kesalahan, supaya tidak terulang lagi nanti…” (h. 206)
Menyoal Hubungan

Novel ini ditulis dari sudut pandang orang pertama, dari Winona. Itu sebabnya, pembaca akan merasa sedikit terkungkung karena hanya bisa mengamati dari sisi Winona. Meski demikian, penulis berhasil menyajikan latar yang tidak terpusat pada kata “aku”. Lengkap dengan gaya menulis Erlin Natawiria yang supel dan ringan, The Playlist menjelma jadi novel yang asyik.

Ceritanya sendiri banyak menyoal hubungan. Bukan hanya hubungan Winona dan mantan pacaranya, Ethan, tetapi hubungan-hubungan yang lain. Begitu memulai, saya cukup yakin bahwa pembaca akan penasaran pada alasan hubungan Winona dan Ethan berakhir. Namun, penulis menyimpan rahasia-rahasia itu rapat-rapat. Penulis pun mengakhri setiap bab dengan kalimat yang memicu penasaran. Tentu dengan petunjuk di sana-sini.
Seharusnya, aku tidak kembali ke tempat di mana kedua orangtuaku menghabiskan masa hidupnya di dunia. (h. 69)
The Playlist berhasil membuat pembaca penasaran dan ingin bergegas menemukan jawaban. Semakin lama membaca, kamu lalu akan tahu bahwa ada kisah tentang hubungan antarkeluarga di sini. Kalau kamu suka novel ringan yang mengemas rahasia dengan baik, saya sarankan untuk membaca The Playlist.

Untuk karakternya sendiri, penulis berhasil menyajikan karakter yang berbeda-beda. Karakter ini pun terlihat perkembangannya, meski hanya dari sudut Winona. Yah, meski di beberapa tempat pembaca tidak akan tahu dengan detail apa yang diinginkan karakter ini atau karakter itu, karena semua ditulis dari sudut Winona.

Oh, tapi saya juga ikut penasaran soal Aries. Seperti Winona. Laki-laki yang jago memasak itu memang sulit ditolak. Chemistry-nya sama Winona sendiri terbangun dengan baik. Meski saya sebenarnya bingung kenapa Winona harus dan mau menemui Aries di halaman 109-110, sehabis kondangan itu. Saya tidak menemukan alasannya. :/

Satu lagi, sebenarnya saya rada bingung dengan gaya hidup Winona ini. Winona bilang bahwa dia dibesarkan dalam keluarga yang konservatif, tapi saya tidak menemukan jejak-jejak itu. Well, saya cukup yakin bahwa masa kuliah adalah masa pencarian jati diri. Namun, saya juga cukup yakin bahwa kebiasaan dan ajaran sedari kecil itu nggak akan dengan mudah hilang. Makanya ketika tahu latar keluarga Winona dan kenyataan soal Winona yang menginap atau tinggal itu, saya jadi bingung. Terlebih dengan latar The Playlist sendiri yang tidak menunjukkan unsur-unsur begitu. (Ini kayaknya gampang bikin salah paham ya, haha, tapi gimana lagi kalau saya bilang jadi spoiler.)

Musik dan Makanan, juga Bandung

The Playlist ini punya judul yang menipu. Judulnya mengisyaratkan pada musik, tetapi begitu mulai membaca, makanan bertebaran di mana-mana. Yah, jika kamu membaca blurb-nya dengan teliti, mungkin kamu tidak akan tertipu seperti saya. XD

Nah, jadi, musik dan makanan adalah dua hal yang penting dalma hidup Winona, tokoh utama kita. Sebelum bekerja di YummyFood, Winona adalah jurnalis media musik. Dia meliput konser, mewawancarai musisi, dan menuliskan ulasan tentang lagu. Selepas berhenti dari pekerjaannya pun, Winona masih tidak bisa lepas dari musik.

Itu sebabnya, jangan heran ketika membaca The Playlist kamu akan disuguhi deskripsi tentang Winona dan musik. Sayangnya, aspek musik ini kurang banyak dieksplorasi. Di awal-awal, saya bisa merasakan ketergantungan Winona terhadap musik. Namun, memasuki paruh akhir, porsi musik ini semacam berkurang gitu. Rasanya jadi seperti bukan Winona.

Di sisi lain, perihal makanan tetap mengisi cerita Winona dalam The Playlist. Deskripsi penulis pun berhasil membuat saya kelaparan ketika Winona sedang menyantap makanan. Salut!

Satu hal lagi yang terasa sangat kuat di The Playlist adalah latarnya. The Playlist mengambil latar kota Bandung sebagai pusat segalanya. Saya memang belum pernah benar-benar menjelajah Bandung, saya hanya pernah ke kota itu untuk kunjungan singkat, tapi saya merasakan penulis berhasil menampilkan Bandung dengan kuat. Lewat jalan-jalan yang dilalui Winona, lewat tempat-tempat makan yang disinggahi, lewat makanan-makanan, saya bisa merasakan kehidupan Bandung.

Membaca The Playlist membuat saya bertanya, “Apakah semua tempat makan yang dikunjungi Winona ini benar-benar ada di Bandung?” Habis, meski penulis jarang menyebutkan soal nama tempat makan, bisa dibilang saya menemukan beberapa petunjuk yang (sepertinya) otentik tentang tempat makan piza yang populer itu.

Terakhir

Meski saya penasaran sebenarnya kehidupan Ghina, sahabat Winona, ini gimana sampai rumahnya punya paviliun sendiri dan pemandangan yang indah, bisa dibilang dia salah satu karakter favorit dan memorable di The Playlist. Kutipan favorit saya pun disuarakan olehnya ketika Winona menanyakan perihal pernikahan.

“Karena, kamu tahu, pernikahan hanya awal dari fase lain. Ini bukan tentang pestanya yang meriah, tetapi bagaimana kami mempertahankannya sampai maut memisahkan.” (h. 41)
“Satu lagi, pernikahan juga tidak cukup jika hanya dilandasi dengan cinta.” (h. 41)

Sayang, penulis tidak memberikan ruang yang banyak untuk menjelaskan persahabatan Ghina-Winona selepas Aries hadir. Penulis juga tidak memberikan cukup eksplorasi pada masalah Winona dan keluarganya.

Terlepas dari itu semua, The Playlist ditulis dengan gaya bahasa yang asyik. Lengkap dengan cowok jago masak dan dipenuhi makanan, novel ini cocok banget dibaca di akhir pekan. Apalagi buat kamu yang susah lepas dari jerat tokoh cowok misterius. XD

Selamat membaca!

Judul: Sajak Rindu
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penyunting:
Muridatun Ni’mah
Penerbit: Indiva
Tebal: 296 halaman

Sajak Rindu dibuka dengan cerita kepercayaan masyarakat Bugis tentang manusia reptile. Manusia reptil ini dipercayai sebagai kembaran anak-anak orang Bugis yang lahir bersamaan tapi hidup di dunia berbeda.

Setelah itu, ceirta berlanjut tentang Bu Maulindah, seorang pengajar SMP. Saat itu, saya pikir novel ini akan bercerita tentang kehidupannya sebagai pengajar di pedalaman. Namun ternyata saya salah. Karena semakin ke belakang, pembaca akan menemukan cerita tentang murid-murid SMP tersebut. Ada Vito yang selalu terlambat, Irfan si ketua kelas, Alif yang suka komentar lucu, dan masih banyak lagi.

Cerita tentang murid-murid ini silih berganti dengan pertemuan seorang gadis bernama Halimah dan pemuda bernama Ilham di tahun 1996 lampau. Kira-kira apa hubungannya ya?

Unsur Lokal

Sejak mulai membaca, pembaca akan langsung disuguhi cerita tentang kepercayaan penduduk setempat. Cerita ini terdengar sangat asing di telinga saya, tanda bahwa baru kali ini saya mengenal legenda itu.
Reptil itu, konon lahir dari rahim manusia. (h. 5)
Selanjutnya, pembaca akan dikenalkan pada tempat-tempat yang tak kalah asing. Desa Pakka Salo yang dikelilingi gunung, Danau Sindereng yang indah, dan kondisi bentang alam Sulawesi Selatan yang saya cukup jamin akan membuatmu ingin singgah. Saya rasa penulis berhasil menyuguhkan latar cerita yang hidup dalam Sajak Rindu ini.

Terlebih, latar cerita ini menjadi lebih hidup karena penulis menyisipkan berbagai budaya lokal dalam sudut-sudut cerita. Lengkap juga dengan istilah lokal dan bahasa penduduk lokal (yang selalu menyenangkan untuk diketahui seseorang seperti saya XD). Seperti ketika menceritakan tentang rumah panggung yang biasa dimiliki warga, penulis mengemukakan fakta kolong rumah bagi masyarakat Bugis.
Kolong rumah panggung orang Bugis ibaratnya sebuah gudang sebaguna. (h. 189)
Selain mengungkapkan budaya lokal (legenda-legenda lokal, adat pernikahan lokal, dsb.), penulis juga mengemukakan bagaimana kondisi desa Pakka Salo (yang dipedalaman itu) tidak lepas dari perkembangan modern. Di bagian awal, penulis bahkan memberikan deskripsi yang menyindiri, tapi terasa tepat sasaran.
Untuk membeli motor, banyak sekali perusahaan finance yang siap meminjamkan dan bisa dikredit. Tapi kuda? Sepertinya belum ada perusahaan finance yang memberikan peluang kepada warga kampung mana pun untuk kredit hewan ternak. (h. 11)
Jika menilik dari latar tempat dan budayanya, saya harus mengacungi jempol bagi penulis. Karena Sajak Rindu ini berhasil menghdupkan itu semua di dalamnya.

Cerita Keluarga

Ketika mulai membaca, saya rasa pembaca tidak akan tahu bahwa novel ini mengangkat cerita keluarga yang kental. Pasalnya, blurb pada bagian belakang novel itu tidak menceritakan apa pun. Lalu, cerita dibuka dengan legenda Bugis, yang kemudian dilanjutkan cerita tentang seorang guru di desa Pakka Salo.

Sejujurnya, bagian awal novel ini terasa tidak fokus. Pembaca akan dibuat bingung dengan arah Sajak RIndu. Saya pun bingung ketika mulai membacanya. Meski demikian, lama-kelamaan pembaca akan disuguhkan cerita petualangan para anak-anak SMP di pedalaman Sulawesi Selatan. Cerita keseharian mereka ini lucu-lucu ajaib gitu, apalagi soal Vito yang sampai mengaku-aku kakeknya meninggal agar diberi izin tidak masuk sekolah.

Nah, semakin ke belakang, pembaca baru sadar bahwa Vito adalah tokoh sentral dalam Sajak RIndu ini. Meski karakter-karakter lain juga punya porsi, misalnya Pak Amin, guru penjas mereka, dan teman-teman Vito. Akan tetapi, Vito adalah karakter paling utama. Begitu porsi Vito semakin besar, pembaca akan sadar soal kerinduan Vito terhadap sosok ayah.
Di dalam kamar mandi, Vito menitikkan air mata saat dia terkenang dengan bukti cinta yang pernah diberikan ayahnya padanya. (h. 29)
Meski beberapa sisi tampak seperti sinetron, Sajak RIndu cukup berhasil mengemas cerita kerinduan seorang anak dengan ayahnya dalam balutan unsur lokal. Sayangnya, saya rasa ceritanya sedikit meleber ke mana-mana sehingga pembaca punya kecenderungan merasa bosan.

Sayangnya lagi, saya nggak bisa relate dengan banyak humor di novel ini. Tingkah anak-anak SMP itu memang konyol, tapi saya nggak bisa tertawa lepas gitu pas baca. Aneh, ya. Haha.

Penutup

Secara keseluruhan, Sajak Rindu ini merupakan novel yang padat. Tebalnya memang mengecoh karena ternyata spasi antar barisnya cukup rapat. Dengan cerita yang penuh unsur lokal dan budaya, novel ini menjelma jadi novel yang penuh.

Saya rekomendasikan Sajak RIndu bagi mereka yang senang membaca novel dengan latar lokal dan penuh budaya lokal. Sajak RIndu adalah pilihan tepat!

Selamat membaca!



GIVEAWAY


Sekarang saatnya giveaway!

Pertama-tama, terima kasih kepada Penerbit Indiva atas kerja sama ini. Terima kasih juga buat rekan host blogtour. Akan ada satu Sajak Rindu yang dibagikan di tiap periode blogtour, pastikan kamu mengikuti semua periode agar kesempatan semakin besar. ;)

Nah, ini syarat dan ketentuan untuk memenangkan Sajak Rindu di Melukis Bianglala.
  1. Wajib follow twitter @penerbitindiva dan instagram @penerbitindiva. Juga Like fanpage Indiva Media Kreasi.
  2. Follow twitter @missfiore_ dan atau instagram @missfioree (boleh pilih salah satu atau keduanya, tapi kesempatan menang lebih besar bagi yang follow di twitter dan instagram).
  3. Bagikan informasi giveaway ini dengan tagar #SajakRinduGegge sambil mention @penerbitindiva dan @missfiore_
  4. Tinggalkan komentar di bawah ini berupa nama, akun twitter, akun instagram, domisili, dan jawaban pertanyaan:
    “Apa yang kamu tahu tentang masyarakat Bugis?”
  5. Terakhir, berdoa!

Giveaway hanya berlaku bagi yang memiliki alamat kirim Indonesia. Periode berlangsung dari 25 sampai 29 Januari. Entri ditunggu maksimal pukul 29.59 tanggal 29 Januari, ya. ;)

UPDATE PEMENANG

Ada tiga jawaban yang saya suka, tapi hadiahnya hanya ada satu :( Setelah berpikir keras dalam waktu lama, akhirnya saya memutuskan satu nama. Selamat kepada

Kitty (@WoMomFey)

Pemenang akan saya hubungi langsung. Untuk yang belum beruntung, bisa pantengin jadwal host yang lain, ya.

Semoga berjodoh dengan Sajak Rindu di lain kesempatan. :D

Judul:
Genduk
Penulis: Sundari Mardjuki
Penyunting: Lana Puspitasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 232 halaman

Novel ini bercerita tentang seorang anak yang dipanggil Genduk. Dia tinggal berdua bersama Biyung (ibu) di lereng Gunung Sindoro. Sejak kecil Genduk tidak pernah mengenal ayahnya. Biyung-nya tidak pernah membicarakan lelaki itu walaupun Genduk merengek ingin tahu. Hal ini membuat kerinduan terhadap sosok ayah begitu besar dalam diri Genduk seiring waktu.

Di sisi lain, seperti penduduk desa di lereng Sindoro, kehidupan ibu-anak ini disanggah oleh tembakau. Namun, tidak seperti kebanyakan petani lainnya, tanah pertanian ibu-anak ini tidaklah seberapa. Meski dulu biyung Genduk adalah salah satu anak petani tembakau terbesar, sejak menikah dengan ayah Genduk, hidup wanita itu menjadi sulit. Tahun ini pun mereka harus berharap pada hasil tanah yang tidak seberapa. Ditambah dengan semakin sulitnya menjuah tembakau dan utang yang tak kunjung habis, ibu-anak ini harus bertahan di tengah gempuran kehidupan.

Tentang Petani Tembakau

Genduk berlatar tahun 1970-an, di mana saat itu banyak petani tembakau yang terlilit utang karena ulah gaok dan tengkulak. Penulis sendiri mengaku melakukan riset langsung ke petani-petani tembakau untuk mendapatkan kisah petani tembakau yang nyata untuk Genduk.

Sepanjang membaca Genduk, penulis membuktikan risetnya memang bukan sekadar menjadi latar. Penulis berhasil menyajikan kehidupan petani tembakau tahun 1970-an dengan sangat hidup dalam Genduk. Mulai dari fakta bahwa para petani tembakau memulai bertani dengan modal berutang (h. 24), yang sering kali masih ada utang-utang dari penanaman tembakau tahun-tahun sebelumnya.
Musim tembakau adalah musim labuh. Apa yang dimiliki petani dipertaruhkan agar penanaman tembakau hingga panen nanti berhasil. (h. 23)
Penulis juga menyajikan pertumbuhan tanaman tembakau dan perlakuan petani terhadap tanaman itu agar semakin rimbun (h. 69), fakta bahwa semua warga (termasuk anak-anak) turun ke pertanian ketika musim panen (h. 90), jenis-jenis tembakau (h. 90), proses panen tembakau (h. 90-91), musim hujan yang menjadi momok bagi tanaman tembakau (h. 92-94), kehidupan petani yang sangat bergantung apda giok, hingga soal tembakau srintil (h. 212-215).

Berbagai istilah lokal terkait pertanian tembakau pun disajikan oleh penulis dengan apik. Seperti nanjaki, di mana bening tembakau harus dijaga agar tidak kalah dengan gulma (h. 23). Atau punggel, memotong bunga tanaman tembakau, agar daun tembakau semakin subur (h. 70). Hal ini membuat latar petani tembakau terasa sangat-sangat hidup dalam Genduk. Latar yang juga menambah wawasan pembaca.

Penulis juga berhasil menghidupkan kondisi rumah-rumah para petani (h. 15), kehidupan sederhana warga desa di lereng gunung, hingga adat yang mengakar seperti ritual Among Tebal (h. 47) di tahun 1970-an itu dengan gaya bahasa yang apik. Saya harus mengangkat topi untuk penulis yang berhasil menyajikan Genduk dengan tata bahasa puitis.

Genduk dan Pak’e

Sayangnya, kepiawaian penulis menghadirkan latar petani tembakau ini tidak berhasil menyatu dengan baik dengan tokoh utama kita, Genduk. Selain mengkhawatirkan biyung-nya yang mengurus pertanian tanpa lelah, Genduk juga merindukan sosok ayahnya, Pak’e.
Tahukan kalian bahwa sebuah keluarga tanpa bapak itu bisa dilihat dari bentuk rumahnya? (h. 15)
Penulis berusaha menyajikan kehidupan petani tembakau dan kerinduan Genduk terhadap Pak’e secara beriringan. Berganti-ganti, penulis menuturkan kedua hal itu. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan kerinduan Genduk yang amat sangat itu terbangung dengan baik di antara keributan panen tembakau. Penulis bahkan terkesan tergesa-gesa ketika membuat tokoh Genduk mencari tahu soal ayahnya seorang diri.

Perlu dipahami sebelumnya bahwa Genduk adalah seorang anak SD. Usianya paling baru 11-12 tahun. Dia sejak kecil hidup di desa. Desanya bahkan termasuk pelosok. Oleh sebab itu, melihat Genduk mencari tahu ayahnya seorang diri terasa sangat-sangat tidak masuk akal. Dari mana keberanian Genduk tumbuh? Darimana anak sekecil itu punya kekuatan dan keberanian untuk berinteraksi dengan orang-orang yang baru dikenalnya padahal selama ini pun di desa dia lebih banyak bersama teman sebaya? Lain ceritanya jika Genduk mulai jadi remaja tanggung.

Fakta bahwa Genduk masihlah anak SD juga membuat novel ini terasa kelewat dewasa. Genduk terlalu tahu banyak hal, tentang pertanian tembakau, tentang kehidupan, bahkan tentang obrolan orang dewasa. Saya tidak berhasil mendapatkan “jiwa anak-anak” dalam novel ini.

Lebih-lebih, si karakter antagonis dalam novel ini pun berakhir terlalu cepat. Sejak awal saya pikir karakter antagonis ini akan memainkan lebih banyak konflik dan kegelisahan dalam diri Genduk, tapi ternyata tidak. Pembaca tidak disuguhi gejolak dalam diri Genduk sehabis insiden itu. Genduk pun hanya disebut-sebut akan membalas dendam tanpa benar-benar melakukan sesuatu. Lalu, akhirnya begitu. Saya jujur saja sangat kecewa dengan perkembangan karakter antagonis yang diolah penulis.

Sama seperti saya kecewa pada kada kerinduan Genduk terhadap Pak’e yang tidak berhasil membuat saya terenyuh. Padahal saya ini paling lemah sama cerita keluarga, tetapi hubungan biyung-Genduk, pun Genduk-Pak’e tidak berhasil menumbuhkan empati dalam diri saya. Saya rasa penyebab utamanya adalah penulis terlalu detail menceritakan soal pertanian tembakau. Penulis tidak memberikan ruang yang cukup bagi perasaan Genduk, perasaan seorang anak kecil, untuk benar-benar tumbuh dan mendamba sosok ayahnya.

Terakhir

Genduk bisa dibilang sebagai sebuah buku yang tidak cukup berhasil mengeksplorasi karakter bocah sang tokoh utama. Meski demikian, Genduk memang memiliki gaya bahasa yang sangat-sangat indah. Genduk juga diperkaya dengan informasi yang sangat informatif terkait tembakau—dan fakta seputar kehidupan petani.

Saya rasa, situasi yang dihadapi petani tembakau dalam Genduk ini masih relevan hingga waktu ini untuk petani apa pun, tidak hanya petani tembakau. Miris sekali membaca bagaimana petani sulit lepas dari utang. Lebih miris lagi ketika melihat para petani langsung menghamburkan uangnya begitu masa panen untuk membeli hal-hal yang sejujurnya tidak membuat pertanian mereka semakin maju, seperti kulkas, vespa, dll.

Benar sekali kutipan yang saya dapatkan dari novel ini.
“Duit memang bisa membuat siapa saja senang. Nggak tua, nggak muda. Nggak mikir utang dan kebutuhan yang lain, sing penting senang-senang dulu.” (h. 100)
Kita sepertinya terlalu menjadi manusia konsumtif yang sangat materialis.

Selamat membaca! Mari merenung.

Yeyeyeyeee!

Akhirnya BBI mengeluarkan tantangan baca! Tantangannya seru pula. Asyik, asyik! Sudah pasti saya ikutan. xD

Untuk syarat dan ketentuan bisa baca lebih lengkap di sini, ya. Lagipula master post ini opsional sih, cuma mau sekalian dibuat untuk panduan diri sendiri, ehehe.

Tantangan BBI ini pakai sistem poin. Ada buku yang mendapatkan single point, ada yang ten point. Lengkapnya saya jabarkan copas dari BBI di bawah ini.

Kategori Single Point
  1. Classic Literature

  2. Children Literature: Fortunately, The Milk - Neil Gaiman. A Hole in The Head - Annisa Ihsani

  3. Young Adult Literature: Love Trip - Putu Kurniawati. Sky - Aiu Ahra. Golden - Jessi Krisby. Imaji Terindah - Sitta Karina. Me, Earl, and The Dying Girl - Jesse Andrews. Welcome Home, Rain - Suarcani, Magnetto - Ninna Lestari. Stand Night War - Nisrina Haqque

  4. Asian Literature: I Want to Eat Your Pancreas - Sumino Yoru. Flat Shoes Oppa - Citra Novy. Boss & Me - Gu Man

  5. Indonesian Literature Before 80’s

  6. Self-Improvement & Self-Help: Passion Stories - Qalbinur Nawawi.

  7. Poetry

  8. Biografi Pahlawan Indonesia

  9. Award Winning Books

  10. Science-Fiction

  11. Dystopia

  12. Adventure: Erstwhile - Rio Haminoto.

  13. Historical Fiction: Tru & Nelle - G Neri.

  14. Fantasy Fiction: Trisula Mentari - Shandy Tan. French Pink - Prisca Primasari.

  15. Paranormal Romance

  16. Contemporary Romance: A Thing Called Us - Andry Setiawan. Glaze - Windry Ramadhina. Aftertaste - Sefryana Khairil. Then & Now - Arleen A. Boy Toy - Aliazalea. Angle in The Rain - Windry Ramadhina. The Second Best - Morra Quatro.  Starry Night - Larasaty Laras. Love in The City of Angels - Irene Dyah. The Playlist - Erlin Natawiria.

  17. Erotic Romance

  18. Sport Fiction

  19. Thriller and Crime Fiction

  20. Wedding Literature: Storm Cloud Marriage - Elsa Puspita. Pinocchio Husband - Pia Devina. Storm Cloud Marriage - Elsa Puspita

  21. Graphic Novels & Comic Books: Nimona - Noelle Stevenson. Sometoon - Mojito Mohican. The Dragon Next Door - Cho.

  22. Debut Authors: Then She Smiles - Makna Sinatria. Double A - Iolana Ivanka

  23. Hobby Nonfiction

  24. Brick Books

  25. Name In A Book: Genduk - Sundari Mardjuki. The Storied Life of AJ Fikry - Gabrielle Zevin.
Kategori Ten Point
  1. Full Series

  2. Buku Pengarang Lima Benua

  3. Lima Buku dari Penulis yang Sama: #Ya Tuhan, ponsel, .3gp, doa. #Ya Tuhan, desain grafis, deadline, doa. #Ya Tuhan, kamu, aku, doa. #Ya Tuhan, lapar, gosong, doa. #Ya Tuhan, monas, macet, doa.

  4. Historical Non Fiction

Tantangan ini berlangsung sampai akhir tahun, jadi, ya dibawa santai aja. xD

Niatnya sih  yang nggak tahu bakal bertahan sampai kapan kerajinan ini master post ini bakal sekalian diperbaharui setiap saya memenuhi kategori tertentu. Jadi, semua bakal tercatat rapi di sini. Semoga sukses.

Ayo ikutan!

Judul:
Rule of Thirds
Penulis: Suarcani
Penyunting: Midya N. Santi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 280 halaman

Ladys meninggalkan karir fotografer dan ayahnya di Seoul untuk mengejar cinta dan komitmen pacarnya, Esa. Sayang, kenyataan di Bali tidak seindah itu.

Dias gagal berhenti jadi asisten fotografer karena keponakan bosnya bergabung di studio. Pemuda itu terpaksa menjadi kacung lagi, kali ini untuk seorang gadis. Ditambah ayahnya semakin tidak peduli, adiknya butuh dilindungi, dan seorang dari masa lalu terus hadir.

Novel ini bercerita pertemuan mereka. kedua orang yang memiliki latar keluarga mirip, sama-sama ditinggalkan sosok ibu. keduanya juga mencintai fotografer, meski awalnya bersiteru. Keduanya pun mengenal namanya dikhianati.

Cerita Keluarga dan Cinta
Udara yang saya hirup di umur sekarang, sudah duluan dihirup paru-parunya. Dia hampir selalu lebih tahu kebenaran. (h. 59)
Yang paling terasa dari karakter-karakter dalam Rule of Thirds ini adalah cerita keluarga yang membayangi mereka. Baik Ladys maupun Dias, keduanya punya masa lalu dengan hubungan orang tua mereka. Dalam novel ini, keduanya saling membantu untuk menghadapi masa lalu mereka. Hal ini membuat perkembangan karakter Ladys dan Dias begitu terasa. Mereka mendewasa seiring halaman, mengambil keputusan, berubah, menentukan langkah, dan menjadi hidup.

Termasuk di dalamnya adalah kisah cinta Ladys dan Dias. Kedua orang ini memiliki kisah cinta yang tak seindah dongeng. Pembaca pun dibeberkan dengan peristiwa demi peristiwa yang membuat kedua tokoh utama kita membuat pilihan.

Bagi saya, cerita cinta dalam Rule of Thirds ini berhasil diramu dengan baik oleh penulis. Ada aspek perselingkuhan yang dimasukkan, tapi penulis memberikan karakter-karakter yang punya cerita, punya alasan. Hal ini membuat pembaca tidak dengan mudah menuduh si ini begitu atau si itu begini. Mereka semua punya cerita masing-masing kenapa memutuskan melakukan hal tersebut. Termasuk juga kedua orang tua Ladys dan Dias di masa lalu.
“Cinta akan selalu memaafkan.” (h. 132)
Penulis berhasil menunjukkan bahwa cinta itu memang seringkali tidak bisa dipahami logika. Penulis juga berhasil menunjukkan hubungan orang dewasa itu rumit tanpa hal-hal menganjal yang tidak perlu. Saya salut sama cara penulis meramu kisah cinta kusut di keluarga Ladys dan Dias ini.

Hal lain yang membuat saya sulit melepaskan novel ini adalah interaksi Dias dengan adiknya, Tyas. Saya selalu lemah sama cerita persaudaraan. Sekarang, saya dibuat terenyuh dengan tindakan-tindakan Dias untuk adiknya. Ada banyak momen mereka yang membuat air mata saya susut, tapi favorit saya itu di halaman 43.
Tyas tergelak, menggodaku. Aku membiarkannya merancang angan untuk diriku, hanya agar dia tetap bercahaya seperti sekarang. Agar dia tetap bisa tertawa dan bahagia, karena dengan begitu, aku juga masih bisa tersenyum. (h. 43)
Saya rasanya meleleh ketika membacanya.

Tentang Profesi

Novel ini diceritakan dengan dua sudut padangan orang pertama. Satu dari sisi Ladys dengan “saya”, yang meski terkesan kaku, lama-lama pembaca akan terbiasa. Satu lagi dari sisi Dias, yang menggunakan “aku”. Penulis cukup berhasil memberikan suara yang berbeda di antara kedua tokoh. Saya angkat topi!

Untuk alurnya sendiri cukup penuh dan padat. Ada cukup banyak karakter yang mengisi interaksi Ladys dan Dias. Semuanya ditulis dengan alur maju yang tidak putus, jadi pembaca tidak akan sadar dengan rentang waktu yang berlalu.

Namun, yang paling menonjol di novel ini adalah fakta tentang profesi kedua tokoh, fotografer. Penulis berhasil menjadikan profesi di novel ini benar-benar hidup. Bukan hanya tempelan berupa pekerjaan tokoh. Bab-bab dimulai dengan istilah fotografi. Keseharian mereka sebagai fotografer pun berhasil terbayang jelas dalam benak saya ketika membaca.
“Dia produk dari mata kedua kamu, mata yang membuat otakmu tidak terpakai. Keindahan yang kamu lihat pada pola itu kenyataannya tidak ada.” (h. 209)
Penulis juga berhasil menggunakan istilah-istilah fotografi untuk membangun cerita. Hal ini memberikan nilai plus pada Rule of Thirds.

Ditambah lagi latar Bali yang digunakan penulis juga tergambar dengan baik. Saya mendapatkan pengetahuan tentang banyak hal soal Bali. Bahkan ada juga tentang adat yang mengakar di Bali.

Kalau kamu menikmati novel tentang profesi yang punya latar tempat bagus, Rule of Thirds wajib kamu baca. ;)

Terakhir

Rule of Thirds bisa dibilang bacaan akhir-tahun-menuju-awal-tahun yang sangat memuaskan! Saya suka sekali dengan cara penulis menuliskan akhir cerita Ladys dan Dias, terasa realistis sekaligus manis. Udah gitu, penulis pun berhasil membuat pembaca khawatir, cemas, sekaligus lega. Salut!

Saya merekomendasikan novel ini bagi penikmat cerita romance, apalagi jika kamu menikmati kisah yang cukup rumit dan realistis. Rule of Thirds juga bakal kamu nikmati jika kamu penggila cerita keluarga seperti saya. Ada banyak momen yang akan membuatmu mewek di novel ini, jadi persiapkan diri.

Sebagai penutup, saya mau memberikan kutipan favorit.
Kebenaran itu kadang adalah proses. Banyak orang yang menemukannya setelah seratus kali kesalahan sebelum akhirnya bisa memutuskan hal yang terbaik. (h. 124)
Selamat membaca!


2016-dalam-buku

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya berniat menuliskan kehidupan saya dan buku di 2016 silam. Pasalnya, ada begitu banyak hal yang terjadi antara saya dan buku di 2016. :”)

Tulisan ini ditulis sekalian untuk Posbar BBI. Awalnya mau dipisahin, habis tulisan ini banyak curhatannya, tapi susah buat memisahkan buku terbaik 2016 atau harapan 2017 dengan tulisan tentang kehidupan saya dan buku ini. Jadi, maafkan kalau tulisan ini panjang. Sila tinggalkan juga jika kamu merasa bosan dengan ocehan saya. I don’t mind.

Awal-awal tahun saya mulai dengan cukup semangat. Terbukti dengan cukup banyaknya buku-buku yang saya baca. Bahkan kalau tidak salah saya menghabiskan hari pertama dengan membaca, haha. Seperti tahun lalu, saya ikutan tantangan-tantangan yang mulai menjamur begitu tahun akan berganti.

Tantangan-Tantangan 2016

Mari mulai membahas tantangan-tantangan yang saya ikuti.

  1. Receh Untuk Buku. Berhubung 2015 cukup sukses, saya ikutan lagi. Sayangnya, celengan ini saya bobol ketika iman saya melemah, hiks. Lengkapnya baca di sini.
  2. Fantasy, Science Fiction, and Dystopia RC. Oke, gagal total. Sudah saya rekap di sini.
  3. Young Adult Reading Challenge. Saya berhasil! Yeah! Jumlahnya pun lumayan banyak dan didominasi YA lokal. Meski di tengah-tengah tahun itu sempat melemah dan Oktober kosong total, tapi saya berhasil. Alhamdulillah terpilih menjadi salah satu review yang disukai Kak Ziyy di awal tahun. Lengkapnya di sini.
  4. Indonesian Romance Reading Challenge. Yang stau ini pun sukses! So happy! Lengkapnya bisa dibaca di sini.
  5. Tantangan Baca Haru. Oke, rada-rada gagal sih, hahahaha. Nanti lengkapnya bakal saya tulis, sesuai dengan ketentuan dari Haru juga.
  6. Read at Your Own Risk. Saya cuma berhasil ikut serta sampai pertengahan tahun, lalu gagal total terus, hiks hiks. Sedih.
  7. Read and Keep. Tantangan ini saya awali dengan semangat. Sayangnya, ketika BBW terselenggara di Indonesia, langsung bubar! Seluruh uangnya saya ambil hiks hiks. Selepas itu, saya berusaha melanjutkan, tapi apalah daya S2 yang menemani saya sejak tahun kedua kuliah rusak total. Ditambah lagi ada bazar buku di Gudang Gramed. Sampai akhr tahun pun, celengan itu tak pernah lagi saya isi. Payah. :(

Itu rekapan tantangan book related yang saya ikuti. Banyakan yang gagal ketimbang yang berhasil, ya. Sedih. Rupanya masih sulit buat saya untuk membaca cerita-cerita fantasi lagi. Lebih sulit lagi untuk mengerem diri ketika ada diskonan buku. Seriusan. Saya merasa begitu payah selepas hidup kere di akhri tahun ini karena dengan mudahnya tergoda diskonan buku di 2016.

Oh ya, tambahan nih. Kalau kamu pikir saya kaya raya, nope. Saya masih mahasiswa, uang jajan nggak sampai sejuta sebulan dari orang tua. Part time? Saya memutuskan untuk tidak bekerja sampai skripsi berakhir. Jadi, darimana saya punya duit untuk membeli timbunan (yang kalau dihitung jumlahnya mau 200 buku *nangis*) ini? Saya memilih membeli buku ketika kamu (mungkin) membeli baju atau kosmetik atau sepatu atau jilbab atau barang-barang lain. Saya memilih jalan ke bazar buku ketika kamu (mungkin) rela antri diskonan barang-barang branded. Saya memilih membeli buku ketimbang makan enak tiga kali sehari (serius, saya nggak bercanda. Saya pernah makan nasi kerupuk doang ketika benar-benar bokek habis kalap). Begitulah hidup saya. Saya rela tampil ala kadar, nggak dandan, bawa bekal ke kampus (beneran, ini), nggak perawatan atau jalan-jalan, hanya untuk beli buku. Saya rada ekstrim, jadi sebaiknya jangan ditiru. Karena saya pun sedih sama diri sendiri di akhir tahun 2016. Pasalnya tabungan saya kebobolan mulu. T_T

Baiklah, cukupkan saya rambling-an sesat itu.

2016 dalam Buku

Total buku yang saya baca di 2016 itu 98 buku. Nggak seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun ini saya banyak baca manga dan webtoon. Nggak banyak juga buku berkesan yang saya baca, haha. Sedih-sedih gimana gitu sih, habisnya meski komik masuk buku, feel-nya beda ketika menyelesaikan buku yang isinya tulisan dibanding menyelesaikan buku berisi gambar. *nangis*

Rekap buku 2016 saya ditampilkan dalam gambar (yang dicomot dari goodreads) berikut. Lengkapnya bisa kamu lihat di sini.


Sekarang, saya mau menjabarkan Buku Terbaik 2016 saya. Berhubung 2016 diakhiri dengan angka 6, saya akan memilih 6 judul. Oh, berhubung banyak manya dan webtoon yang say abaca, jangan heran kalau dua hal itu masuk dalam list ya.

1. Holy Mother – Akiyoshi Rikako
Sumpah buku terbaik terbaik terbaik terbaikterbaikterbaikterbaik *lalu ditendang* di 2016! Kalau kamu menikmati cerita detektif, misteri, dengan sentuhan thriller, kamu wajib baca buku ini. Bukunya nggak panjang dan harganya cukup terjangkau. Salah satu novel misteri terbaik yang pernah saya baca. Review lengkap bisa kamu baca di sini.

2. Finding Audrey – Sophie Kinsela
Genre-nya YA, dengan sentuhan cerita mental illness. Saya suka bangaimana penulis mengeksekusi cerita Audrey. Cakep. Saya juga berhasil bersimpati pada krakter-karakter dalam novel ini. You have to read this one if you enjoy YA or simply interested at anxiety disorder. Ceritanya simpel dan ditutup dengan puas. Ulasan lengkap bisa baca di sini.

3. Petir – Dee
Saya baru baca seri Supernova sampai Petir, tapi saya pikir saya bakal paling suka buku ini meski sudah baca buku-buku berikutnya (iya, saya PD banget haha). Pasalnya di buku ini saya naksir sama interaksi Etra dan Mpret. Manis banget! Saya juga suka Petir katimbang KPBJ atau Akar karena cerita Etra ini tuh … terasa dekat gitu. Mungkin karena Etra di hadapkan pada dunia selepas kuliah yang terasa dekat sama kondisi saya, ya. Yah, lengkapnya baca di sini aja.

4. Noblesse – Son Jae Ho
Yeah, ini webtoon. Kamu bisa baca di sini. Ceritanya tentang vampir, tapi bukan vampir macam Twilight. Saya berhasil kecanduan webtoon ini di pertengahan tahun 2016 dan seriusan nggak bisa berhenti baca sebelum sampai ke episode terakhir. Parah banget. Meski belakangan ini ceritanya rada mbulet-mbulet dan perkembangan karakter utamanya kurang (dan saya cemas luar biasa sama Rai huhuhuuu), tapi webtoon satu ini a must read versi saya.

5. Haikyuu – Haruichi Furudate
Saya mulai baca manga ini selepas menghabiskan season 1 dan 2 anime-nya. Bagus. Sport manga terbaik yang saya baca! Penuh gairah muda dan penuh dengan perkembangan karakter yang total. Saya suka banget arc training camp yang baru usai ini. Karakter-karakternya mendewasa dengan baik dan tidak terburu-buru. Kalau kamu malas baca manga-nya, cukup nontn saja. I bet you’ll love it.

6. Annarasumanara – Ha Il Kwon
Webtoon ini punya aura suram. Ceritanya? Sama suramnya. Art-nya cantik. Pesannya dalam banget. Webtoon layak dibaca semua orang yang tengah berjuang dalam hidup. :”)

Sip. Udah ada enam. Yah, kira-kira itu #BBITopChoice2016 saya. Seriusan pilihnya susah. Karena ada Starlight yang saya nikmati, juga Aoharu x Kikanju yang bikin saya keranjingan, atau A Monster Call (yang saya baca ulang habis punya versi terjemahan) tapi akhirnya saya sisihkan karena udah baca ini di 2015, dst dst.

Harapan 2017

Sekarang mari lanjut ke bagian berikutnya, harapan 2017, #BBIWishlist2017.

Harapan-harapan ini saya cantumkan dalam bentuk list dan hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan buku (berhubung ini kan blog buku dan posbarnya pun untuk BBI XD). Semoga harapan ini nggak berakhir menjadi harapan kosong.

Oya, berhubung buat 2017 dan 2017 diakhiri sama angka 7, jadi bakal ada 7 harapan.
  1. Nggak kalap kalau beli buku lagi. Saya benar-benar harus bisa menahan diri ketika melihat diskonan. Meski di setengah 2016 akhir saya udah bertekad nggak bakal beli buku (meski diskonan) kecuali kalau wishlist, eh ternyata novel-novel diskonan pun banyak yang wishlist hiks hiks. Ini PR banget.
  2. Membaca 50 buku timbunan. IYA INI MULUK BANGET. Namun, nggak apalah ya. Toh masih awal tahun. Masih penuh semangat, yeah! Semoga kesampaian. Biar bisa segera beberes rak, mengeluarkan buku-buku yang sebaiknya dijual gitu supaya beban lebih ringan. :”D
  3. Nabung Read and Keep dengan baik dan benar. Saya turunin deh standarnya jadi 5k/buku dari 10k/buku. Nggak perlu deh dijadikan tantangan juga atau dilaporin ke siapa pun. Ini bakal jadi proyek pribadi sih. HARUS NGGAK BOLEH DIBOBOL CELENGANNYA! *kencangkan ikat pinggang* Di akhir tahun baru boleh dibuka. Oke, Wardah? Mari menabung untuk beli mesin jahit!
  4. Bikin bookish merch di akun rajutan saya, Fiore Craft *semi promosi ceritanya*. Idenya sih udah ada, sayangnya itu waktunya belum mumpuni, huhuhu. Kayaknya Februari baru bisa dicicil ngerjain. Mungkin baru Maret/April bakal rilis. Insya Allah. Kamu bisa, Wardah!
  5. Beli 1 buku/bulan, kayak tahun 2012 silam. Saya mulai beli buku itu 2012 dan Cuma satu buku per bulan. Di 2013 masih terkontrollah, saya belum kenal banyak olshop. 2014 itu mulai parah. 2015 itu parah banget. Saya pikir 2015 bakal jadi yang paling parah, sampai 2016 datang dan diskonan di mana-mana.
  6. Semoga harga buku makin bersahabat. Sejujurnya melihat harga buku belakangan ini tuh sesak banget. Angkanya udah tiga di depan titik. Nggak kuat dompet saya buat beli. Ini salah satu alasan saya mau mengurangi pembelian buku. Toh saya rencananya bakal pakai scoop premium (semoga harganya juga tetap). Namun, kalau harga buku terus-menerus naik-naik ke puncak gunung, sulit juga buat menyentuh banyak golongan supaya makin maju dunia literasi kita. :( Meski saya pun merasa payah karena belum melakukan hal-hal besar untuk meningkatkan budaya membaca sih. Ke mana ya perginya semangat sosial saya? *mengenang masa lalu*
  7. Terakhir, sederhana, semoga BBI menjadi wadah yang semakin baik di 2017. Doa lengkapnya saya sampaikan langsung ke langit.
Lebih banyak harapan personal ya? XD Gapapalah ya, karena akhir tahun ini saya benar-benar merasa harus memperbaiki manajemen diri banget. Apalagi 2017 sepertinya bakal jadi tahun yang berat buat saya (tapi semoga tidak). Harapan-harapan lain seperti menyelesaikan skripsi, lulus, dapat pekerjaan di Jogja, dst dst, biarlah saya tulis di tempat terpisah.

Kalau kamu, apa harapanmu? :)

Penutup

Ternyata tulisan ini udah melewati 1500 kata. Panjang juga, ya. Padahal isinya mayoritas adalah curhatan. Yang jelas, akhirnya saya berhasil menyelesaikan tulisan ini. Yeah!

Oh, di tahun 2016 ini juga saya membuat keputusan penting, yaitu menjadi bookstagramer aktif. Saya jelas saja masih newbie, tapi saya bersemangat melakukannya. Well, meski saya gagal di Haru Award untuk kategori Bookstagrammer favorit (hiks), saya masih semangat untuk membagikan buku di instagram. Kalau kamu tertarik, boleh cek instagram saya, @missfioree.

Awalnya mau diterbitkan tanggal 1 Januari 2017 sih, tapi udah masuk tanggal 2 nih. Jadi, saya jadwalkan terbit pagi saja.

Oh ya, sebelum berakhir, di 2017 ini saya memulai proyek bersama penulis favorit saya, Tantangan Baca Buku Prisca. Ayo ikutan! Saya tunggu, ya! :D

Tulisan ini dibuat untuk Posting Bareng BBI 2016.

Banner Posbar 2016
Judul: Sing Me Home
Penulis: Emma Grace
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 272 halaman

Bercerita tentang Gwen. Seorang gadis yang sangat cinta menari, tapi ditentang ibunya. Seorang gadis yang menjadikan cowok lain pelarian setelah ditinggalkan cowok yang disukainya.

Iyap, itu inti cerita Sing Me Home. Novel ini cocok banget dibaca kamu yang sedang meraih mimpi atau kamu yang meragukan mimpi atau kamu yang sedang bingung dengan masa depan.

Menyoal Cita-Cita
"Cita-cita bukanlah sekadar cita-cita. Mereka mendefinisikan siapa dirimu yang sesungguhnya." (h. 191)
Sing Me Home menyoal cita-cita. Lewat karakter Gwen, pembaca akan dibawa pada kondisi 'bagaimana jika apa yang kamu cita-citakan tidak diresetui orang tuamu?' Sepanjang buku ini, kita akan disajikan kecintaan Gwen terhadap menari dan hal-hal yang rela gadis itu lakukan untuk menyembunyikan kecintaannya itu karena ditentang sang ibu.

Menurut saya, penulis berhasil menunjukkan bagaimana menari begitu berarti dalam hidup Gwen. Meski demikian, saya tidak merasakan istilah-istilah seputar balet atau trivia tentang balet di sini. Rasa-rasanya menari yang dituliskan dalam novel ini universal, tidak perlu balet. Seakan "balet" hanyalah ornamen dalam kecintaan Gwen terhadap tari. Sayang sekali.

Nah, pada awalnya, saya pikir alasan ibu Gwen tidak merestui keinginan anaknya menari itu masih seputar stereotipe "seni tidak bisa menghidupi, tidak bisa membuat kaya". Namun, semakin lama membaca, saya menemukan kejutan yang tidak terkira. Jujur, hal itu benar-benar sebuah kejutan! Sayangnya, kenyataan soal sang ibu itu ternyata begitu kok dipaksakan, ya? Kalau memang setenar itu, kenapa Gwen tidak pernah tahu? Sebenarnya berapa usia ibu Gwen sekarang? Berapa lama waktu telah berlalu sejak kejadian 'itu'? Saya jadi bertanya-tanya.

Namun, secara keseluruhan, saya cukup menikmati bagaimana penulis menyajikan perjuangan Gwen merain mimpinya. Sebuah bacaan yang menyenangkan dan inspiratif! Gwen benar-benar gigih!

Kisah Cinta

Yang saya sayangkan itu justru kisah cintanya. Sejak Gwen mengiyakan Jared (lelaki yang ditemuinya saat manggung dan berusaha mendekatinya), saya langsung merasa sebal pada Gwen. Well, sepertinya saya tidak pernah bisa sepakat sama karakter yang belum menyelesaikan perasaannya pada Hugo dan justru memulai hubungan dengan orang lain. Persis Gwen ini.
"Melarikan perasaanmu pada orang yang tidak tepat bukanlah jalan keluar. Cepat atau lambat kamu sendiri akan merasa terpenjara." (h. 131)
Gwen seperti memanfaatkan Jared banget dan saya sebal. Meskipun karakter Jared juga rada menyebalkan, tapi saya tetap saja sebal sama Gwen. Menurut saya, Gwen pun sama egoisnya dalam hubungan mereka.

Soal Hugo, lelaki yang masih dicintai Gwen, pun saya sulit bersimpati. Karakternya seperti kesatria gitu kepada Corrine, tapi saya nggak bisa simpati. Saya jadi kasihan pada Corrine. Karakter-karakter di Sing Me Home ini seperti punya kecenderungan untuk melukai perasaan karakter lain.

Sejujurnya, sikap mereka cukup wajar mengingat usia mereka yang belia. Sayangnya, saya susah untuk menikmati kisah cinta yang disajikan dalam Sing Me Home. Semua karakternya memiliki keegoisan masing-masing dan saya jadi tidak merasakan gejolak-gejolak manis ketika membaca interaksi mereka. :(

Terakhir

Terlepas dari kenyataan bahwa saya tidak menikmati kisah cintanya, saya cukup suka novel ini. Novel ini punya cerita keluarga yang apik dan terjalin rapi. Meskipun karakter ayah Gwen itu seperti tidak ada (yang saya sayangkan), tapi saya suka gejolak yang timbul antara Gwen dan ibunya.

Karakter kesukaan saya itu Pop, kakek Gwen. Beliau ini benar-benar penuh kebijaksanaan.
"Tahukah kamu, ketika dua orang harus berteriak untuk menyelesaikan persoalan, itu bukan karena mereka tak saling mendengarkan, tapi karena hati mereka terlalu jauh sehingga teriakan diperlukan untuk menjembatani jaraknya." (h. 201)
Seandainya saja ayah Gwen diberikan porsi lebih, saya rasa cerita keluarga Gwen dalam novel ini akan lebih menyentuh.

Selamat membaca!
Judul: Promise
Penulis: Kristi Jo
Penyunting: Novera & Tri Saputra S.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 232 halaman

Joshua, Lana, dan Alex adalah sahabat baik sejak kecil. Mereka harus berpisah dan melanjutkan kehidupan di tempat-tempat berbeda. Lana harus pergi ke Melbourne. Joshua harus ke Surabaya. Meskipun Alex tetap di Jakarta, tapi hidup mereka tak akan sama lagi tanpa satu sama lain. Di hari perpisahan, Lana mengusulkan agar mereka berjanji untuk berkumpul lagi lima tahun lagi. Janji itu diiringi harapan untuk satu sama lain di lima tahun yang akan datang.

Lima tahun berlalu dan hari yang dijanjikan tiba. Sayangnya, hanya ada Lana dan Joshua yang berjumpa di taman itu. Alex sama sekali tidak muncul. Keduanya pun mencari Alex dan menemukan kenyataan mengejutkan soal pemuda itu. Di sisi lain, baik Lana maupun Joshua kembali ke Jakarta dengan luka masing-masing. Hal ini membuat persahabatan mereka tak lagi sama.

Apa yang akan terjadi pada tiga sahabat ini?

Tentang Persahabatan

Ketika membaca blurb, saya pikir novel ini akan lebih berat pada apek persahabatan. Sayangnya, tidak. Selayaknya cerita tentang tiga sahabat, ada cinta segitiga di sana. Pembaca akan mulai menyadari dari gelagat Lana bahwa dia menyukai salah satu sahabatnya. Lama-lama, pembaca akan dibeberkan kenyataan bahwa perasaan ketiga sahabat ini saling melilit dan menghancurkan pondasi persahataan mereka.

Sejujurnya, saya kecewa pada plot cinta segitiga yang dipilih penulis. Bukan hanya karena mengaburkan tema persahabatan (yang saya pikir bakal kental), cinta segitiganya pun ditulis dengan klise. Tertebak sekali. Saya gerah ketika sampai pada adegan Joshua menyadari perasaannya. Rasanya lebih logis kalau perasaan Joshua tidak begitu. Oke, ini spoiler jadi silakan menerka-nekar maksudnya apa.

Saya juga heran karena kedekatan Joshua dan Alex itu tidak ditunjukkan padahal keduanya sama-sama cowok. Keduanya jelas mengenal akrab dan Lana adalah satu-satunya gadis di antara mereka. Apakah dua cowok itu tidak pernah mengobrol soal Lana atau gadis? Rasanya aneh jika mereka tidak pernah sekali pun menyoal Lana dalam hidup mereka. Terlepas pada kenyataan bahwa Lana dulunya tomboy.

Jadi, yah, unsur persahabatannya kurang. Lebih lagi, banyak sekali dialog di novel ini, dan banyak juga yang isinya teriak-teriak. Nggak tahu kenapa jadi capek bacanya.

Konflik-Konflik Kecil

Sejujurnya, novel ini punya konflik-konflik yang lumayan banyak dan berlapis-lapis. Masing-masing karakter diberikan permasalahan. Mereka dihidupkan dengan kejadian-kejadian dalam hidup mereka selama lima tahun mereka berpisah sehingga ada perkembangan dalam hidup mereka. Sayangnya, penulis belum berhasil mengeksekusinya dengan baik.

Contoh saja tentang masalah Lana. Penulis terkesan ragu-ragu untuk menyampaikan bahwa Lana begini atau begitu. Penulis juga belum berhasil menunjukkan apa yang dialami Lana dengan cukup baik gitu, terkesan nanggung.

Soal Alex lebih lagi. Hidupnya terlalu penuh dengan drama. Gimana, ya, saya merasa karakternya terlampau emosional dan hidup pemuda itu mirip sinetron. Saya nggak mengalami apa yang dia rasakan sih, jadi sebenarnya saya nggak layak mengatakan hal ini. Namun, tetap saja menurut saya penulis tidak berhasil menunjukkan perubahan karakter Alex selepas lima tahun dengan cukup baik. Karakter Alex lima tahun lalu pun kurang digambarkan jadi saya tidak punya pembanding. Yang jelas, hidup pemuda itu tuh terlalu drama.

Pace ceritanya juga cepat dan padat. Penulis pun belum berhasil menyampaikan rahasia-rahasia dengan cukup baik sehingga terkesan bleber gitu. Semoga tulisan penulis berikutnya lebih rapi karena capek juga baca Promises ini.

Terakhir

Ceritanya okay. Punya potensi untuk semakin baik jikalau dieksekusi dengan lebih optimal juga. Penulis punya bekal itu dari karakter-karakternya yang cukup rumit. Akan lebih baik jika aspek persahabatannya didahulukan ketimbang masalah cinta. Konfliknya nggak perlu lagilah seputar cinta-cinta. Saya rasa bakal membuat novel berlabel YA ini lebih menjual. :D

Cocok dibaca bagi mereka yang suka cerita cinta segitiga dan tengah menghadapi masalah dengan sahabatnya. Mungkin bisa mendapat pencerahan lewat persahabatan tiga orang ini.

Sebagai penutup, sebuah kutipan dari saya.
“Orang boleh berubah, waktu boleh bertambah, tapi ikatan persahabatan nggak harus putus.” (h. 93)
Selamat membaca!
Newer Posts Home

Wardah


Penikmat segala olahan matcha. Senang menyusun buku berdasar warna, mengumpulkan kertas-kertas bekas, dan menatap langit-langit kamar. Sejak kecil bercita-cita menjadi penulis fantasi, yang sayangnya belum kesampaian.

Kenal Lebih Dekat

BBI 1502274

BBI 1502274

Kategori

  • Bookish Merch 2
  • Bookstagram 5
  • Dialog 2
  • Freebies 1
  • Giveaway 11
  • Random 3
  • Review 65
  • Tips 8

Arsip

  • ►  2019 (10)
    • ►  October 2019 (2)
    • ►  August 2019 (1)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (3)
    • ►  February 2019 (2)
    • ►  January 2019 (1)
  • ►  2018 (24)
    • ►  October 2018 (2)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  May 2018 (5)
    • ►  April 2018 (4)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (3)
  • ▼  2017 (59)
    • ►  December 2017 (2)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (11)
    • ►  September 2017 (6)
    • ►  July 2017 (1)
    • ►  June 2017 (1)
    • ►  May 2017 (2)
    • ►  April 2017 (13)
    • ►  March 2017 (6)
    • ►  February 2017 (3)
    • ▼  January 2017 (11)
      • January Party: Tebak Giver
      • Love Trip: Pencarian Cinta dari Denver Hingga Prah...
      • [Master Post] Indonesian Romance Reading Challenge...
      • The Playlist: Cerita di antara Musik dan Makanan
      • [Review + GIVEAWAY] Sajak Rindu - S. Gegge Mappang...
      • Genduk - Sundari Mardjuki
      • [Master Post] Read and Review Challenge 2017
      • Rule of Thirds - Suarcani
      • 2016 dalam Buku + Harapan 2017
      • Sing Me Home - Emma Grace
      • Promises - Kristi Jo

Teman

Berlangganan

Copyright © 2016 missfioree. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018